Tampilkan postingan dengan label Health. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Health. Tampilkan semua postingan

Kamis, 13 Oktober 2011


Tanggal 28 September diperingati dunia sebagai Hari Rabies Dunia. Indonesia pertama kali memperingati tahun 2009 di Bali. Saat itu, Bali tengah dilanda peningkatan kasus rabies.

Kematian karena rabies pertama kali dilaporkan di Kabupaten Badung pada November 2008. Tahun 2010 dan tahun 2011, peringatan juga dipusatkan di Bali. Hal itu untuk mendukung Pemerintah Provinsi Bali mewujudkan Bali bebas rabies di tahun 2012.

Rabies adalah suatu penyakit menular akut yang menyerang saraf dan susunan saraf pusat akibat virus rabies yang masuk ke tubuh manusia melalui gigitan hewan penular rabies. Rabies merupakan penyakit yang mematikan. Sebanyak 90 persen kasus rabies pada manusia ditularkan oleh anjing. Sisanya ditularkan oleh kucing, monyet, kelelawar, dan binatang liar lain.

Virus rabies termasuk famili Rhabdovirus , genus Lyssa virus, sehingga kasus rabies disebut juga kasus Lyssa. Virus ditularkan lewat gigitan langsung masuk ke darah. Di udara terbuka, virus mati jika dicuci dengan zat pelarut lemak, misalnya sabun, detergen, dan eter.

Situasi rabies
Di Indonesia, rabies tersebar di 24 provinsi. Kasus gigitan binatang dan kematian cukup tinggi di Bali, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Sumatera Utara, dan Nias. Provinsi yang bebas rabies tinggal Bangka Belitung, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Papua Barat, dan Papua.

Dari grafik tampak bahwa sejak terjadi peningkatan kasus rabies di Bali tahun 2008, jumlah kasus gigitan meningkat pesat. Puncaknya terjadi di tahun 2010. Dari 78.203 kasus gigitan, 70 persen terjadi di Bali.
Lewat upaya dan kerja sama berbagai pihak, terutama lewat gerakan vaksinasi massal pada anjing, jumlah kasus gigitan hewan penular rabies menurun.

Agar virus rabies tidak menyebar, perlu ada kerja sama solid antarberbagai sektor terkait dan masyarakat, khususnya pemilik anjing, sehingga rabies tidak menyebar dan wilayah tertular dapat bebas dari rabies.

Gejala rabies
Pada manusia, gejala rabies stadium awal sulit dikenali karena menyerupai infeksi virus lain, seperti demam, sakit kepala, lemas, tidak nafsu makan, dan mual. Karena itu perlu diperhatikan adanya riwayat gigitan hewan penular rabies. Seringkali penderita tak menyadari karena luka gigitan telah sembuh. Adanya nyeri tekan, panas, dan rasa kesemutan pada bekas luka gigitan bisa digunakan untuk mengidentifikasi penyebabnya.

Pada stadium lanjut, akan ditemukan gejala yang sangat khas untuk rabies, yaitu hydrophobia (rasa takut berlebihan terhadap air), gejala lain adalah kepekaan tinggi terhadap rangsang sinar, suara dan angin, sehingga penderita rabies akan kejang- kejang. Selain itu, timbul air liur dan air mata secara berlebihan, diakhiri dengan kelumpuhan. Biasanya penderita meninggal 4-6 hari setelah gejala pertama timbul.

Rabies pada hewan
Pada hewan, gejala yang terjadi sama, yaitu ketakutan, agresif menyerang manusia, kesulitan minum air, kesulitan bernapas, dan kejang. Bisa pula sebaliknya , anjing tampak diam, tetapi tiba- tiba menyerang manusia.

Hal yang bisa dilakukan untuk mencegah rabies, antara lain, pemilik binatang (anjing, kucing) memvaksinasikan binatang peliharaannya dan tidak membiarkan binatang peliharaan berkeliaran secara bebas. Hal ini untuk mengurangi kemungkinan binatang peliharaan kontak dengan binatang liar yang kemungkinan terkena rabies.

Binatang peliharaan yang menggigit manusia perlu dikurung dan diamati selama 10 hari atau dilaporkan ke petugas dinas peternakan setempat.

Apabila kita digigit anjing, segera cuci luka gigitan dengan air mengalir selama 10 menit dan dicuci dengan sabun atau detergen, luka jangan dijahit, kemudian diberikan antiseptik, seperti Betadine, alkohol, kemudian segera pergi ke dokter atau puskesmas untuk mendapat vaksin antirabies.

Apabila kasus gigitan hewan penular rabies segera ditangani sesuai prosedur, kemungkinan besar terjadinya rabies dapat dicegah.

http://ceriwis.us/showthread.php?t=542615

Pengaruh Penyakit Diabetes pada Otak


Diabetes melitus berpengaruh pada seluruh bagian tubuh, termasuk otak. Riset-riset terbaru menunjukkan diabetes melitus (DM) memperlambat fungsi mental dan meningkatkan risiko penyakit Alzheimer. Komplikasi yang terjadi di otak ini hanyalah satu alasan mengapa kita wajib mengontrol diabetes.

Para ilmuwan sebenarnya belum mengetahui dengan jelas bagaimana diabetes tipe 2 memengaruhi otak karena ada banyak faktor yang terlibat.


"Kadar gula darah yang tinggi mungkin berdampak langsung pada sel-sel saraf atau sel suport di sistem saraf. Hal tersebut juga memicu kerusakan pada pembuluh darah besar dan kecil. Akibat lainny adalah mengurangi pasokan oksigen ke otak sehingga meningkatkan risiko stroke," kata Alan Jacobson, profesor emeritus psikiatri dari Harvard Medical School.


Diabetes melitus diawali dengan resistensi insulin di mana lemak, otot dan sel-sel liver tidak bisa memakai insulin. Pada awalnya pankreas merespon reaksi itu dengan memompa lebih banyak insulin.



Diabetes melitus berpengaruh pada seluruh bagian tubuh, termasuk otak. Riset-riset terbaru menunjukkan diabetes melitus (DM) memperlambat fungsi mental dan meningkatkan risiko penyakit Alzheimer. Komplikasi yang terjadi di otak ini hanyalah satu alasan mengapa kita wajib mengontrol diabetes.

Para ilmuwan sebenarnya belum mengetahui dengan jelas bagaimana diabetes tipe 2 memengaruhi otak karena ada banyak faktor yang terlibat.


"Kadar gula darah yang tinggi mungkin berdampak langsung pada sel-sel saraf atau sel suport di sistem saraf. Hal tersebut juga memicu kerusakan pada pembuluh darah besar dan kecil. Akibat lainny adalah mengurangi pasokan oksigen ke otak sehingga meningkatkan risiko stroke," kata Alan Jacobson, profesor emeritus psikiatri dari Harvard Medical School.


Diabetes melitus diawali dengan resistensi insulin di mana lemak, otot dan sel-sel liver tidak bisa memakai insulin. Pada awalnya pankreas merespon reaksi itu dengan memompa lebih banyak insulin.


Enzim yang sama yang memecah insulin juga memecah protein yang disebut beta-amyloid, yang terbentuk secara abnormal pada otak penderita Alzheimer. Makin banyak enzim yang bekerja memecah insulin, makin besar pula akumulasi beta-amyloid.


Studi yang dilakukan di Swedia menemukan peningkatan risiko Alzheimer pada orang-orang yang menderita DM di usia pertengahan. Risiko Alzheimer pada orang yang menderita diabetes di usia 65 tahun lebih kecil.


"Makin lama Anda menderita DM, makin tinggi risikonya terkena Alzheimer's,' kata Margaret Gatz, profesor psikologi dari University Southern California, AS.

Cuci Tangan Itu Sampai ke Perasaan

Mencuci tangan secara kasat mata bisa membersihkan secara fisik. Tapi ternyata dampaknya lebih. Cuci tangan juga sampai pada pikiran dan perasaan, memberikan dampak positif pada kesehatan fisik, tapi juga psikologis.Hasil riset para peneliti Universitas Michigan, Amerika Serikat menjelaskan mencuci tangan dapat membantu "membersihkan" perasaan buruk. Dengan mencuci tangan, mandi, bahkan hanya berpikir tentang bebersih, seseorang dapat mengurangi atau menghilangkan perasaan amoralitas, tidak berutung, atau keraguan.
"Pengalaman tubuh menghilangkan racun fisik dapat memberikan dasar untuk menghilangkan racun mental yang lebih abstrak, menghadirkan aspek metafora yang sangat kuat, ucap seorang peneliti Spike Lee.

Mencuci tangan secara kasat mata bisa membersihkan secara fisik. Tapi ternyata dampaknya lebih. Cuci tangan juga sampai pada pikiran dan perasaan, memberikan dampak positif pada kesehatan fisik, tapi juga psikologis.Hasil riset para peneliti Universitas Michigan, Amerika Serikat menjelaskan mencuci tangan dapat membantu "membersihkan" perasaan buruk. Dengan mencuci tangan, mandi, bahkan hanya berpikir tentang bebersih, seseorang dapat mengurangi atau menghilangkan perasaan amoralitas, tidak berutung, atau keraguan.
"Pengalaman tubuh menghilangkan racun fisik dapat memberikan dasar untuk menghilangkan racun mental yang lebih abstrak, menghadirkan aspek metafora yang sangat kuat, ucap seorang peneliti Spike Lee.
Para peneliti meminta sekelompok responden untuk menilai moralitas mereka sendiri dan orang lain dalam situasi yang berbeda. Mereka diminta berpikir perbuatan masa lalu tidak bermoral dan tingkat kesalahan mereka dinilai menggunakan tes psikologis.
Beberapa diuji di tempat yang bersih, dan yang lainnya diuji di tempat kotor. Dalam tes lain, responden memiliki akses untuk mencuci tangan menggunakan antiseptik dan kesempatan untuk mengambil bagian dalam perbuatan baik setelah percobaan.
Para peneliti menemukan ketika di sebuah ruangan kotor, responden menilai moralitas orang lain lebih buruk, daripada ketika mereka berada di runangan yang bersih. Kemudian mereka mencuci tangan. Rupanya, ini menurunkan rasa bersalah mereka.